Hari ini aku harus minta maaf pada pak polisi di persimpangan jalan itu. 2 kali aku harus lewat di depannya tanpa memakai helm, mengantar kakak kerja dan menemani ibu ke pasar, yang tentu saja melanggar peraturan dan membahayakan keselamatan. Sebuah tindakan yang tentu saja mencoreng dan seperti menghina pak polisi tersebut sebagai pengawas dan penertib lalu lintas. Sungguh, aku tak ada maksud sama sekali untuk berbuat seperti itu. Mana mungkin aku berani melakukan itu, sebuah tindakan kekurangajaran pada seorang abdi masyarakat yang sudah dengan dedikasi tinggi mengatur padatnya lalu lintas bengkong di pagi hari.
Kalau aku perhatikan, kesadaran berlalu lintas di daerahku -bengkong- sangatlah rendah. Banyak yang tak mengindahkan keselamatan berlalu lintas mulai dari perlengkapan berkendara hingga kendaraannya. Begitu banyak kendaraan yang harusnya sudah masuk museum tapi masih beroperasi bahkan ditambahi gerobak di sampingnya. Untuk kelengkapan berkendara sendiri, ia masih sering ditinggalkan, helm sering tak dipakai hanya karena alasan “deket, cuman ke pasar aja kok”, ya kalau memang dekat kenapa tak jalan kaki saja? Sehat, mengurangi global warming pula.
Dengan mayoritas penduduk bengkong sebagai pekerja, maka jalanan bengkong menjadi tak ubahnya seperti Jakarta. Yah, ia bisa macet sedemikian rupa, angkot-angkot bisa berhenti sesukanya tanpa memperdulikan kemacetan yang disebabkannya. Kemacetan yang akan menjadi semakin parah, kalau saja pak polisi tidak ditempatkan di daerah ini. Begitu besar jasa mereka hingga aku merasa sangat kurang ajar dan tak enak hati karena telah lewat dengan sombongnya tanpa memakai helm di depan hidungnya.
Biarlah orang menganggap polisi hanya tukang tilang dan korup, tapi menurutku, pak polisi di daerahku adalah yang terbaik. Karena selain membantu mengatur lalu lintas, ia juga memberikan keamanan pada anak-anak sekolah di tengah keganasan lalu lintas bengkong yang tak ubahnya seperti megapolitan.
Hanya satu yang kusesalkan betapa ternyata bahkan pak polisi itu tak mau menegurku sedikitpun atas kesalahan yang telah kuperbuat. Begitu sabarnyakah ia menjalankan tugasnya? Hingga untuk menegur kesalahan pun ia tak berani. Ah, lagi-lagi aku harus minta maaf yang sebesar-besarnya kalau begitu. Permintaan maaf disertai kekaguman atas kesabaranmu yang luar biasa.
Tapi ternyata penyesalanku ini tak bertahan lama karena begitu melihat running text led di simpang jam maka jelaslah semuanya. Disana tertulis “anda memasuki kawasan tertib lalu lintas”, nah ini berarti bengkong bukanlah kawasan tertib lalu lintas karena tak ada peringatan itu, hingga akhirnya orang bisa bebas berkendara dan pak polisi pun tak punya hak menegurnya. Yah, dan akupun akhirnya melupakan kesalahan yang kukira telah kulakukan pada pak polisi itu.
Kalau aku perhatikan, kesadaran berlalu lintas di daerahku -bengkong- sangatlah rendah. Banyak yang tak mengindahkan keselamatan berlalu lintas mulai dari perlengkapan berkendara hingga kendaraannya. Begitu banyak kendaraan yang harusnya sudah masuk museum tapi masih beroperasi bahkan ditambahi gerobak di sampingnya. Untuk kelengkapan berkendara sendiri, ia masih sering ditinggalkan, helm sering tak dipakai hanya karena alasan “deket, cuman ke pasar aja kok”, ya kalau memang dekat kenapa tak jalan kaki saja? Sehat, mengurangi global warming pula.
Dengan mayoritas penduduk bengkong sebagai pekerja, maka jalanan bengkong menjadi tak ubahnya seperti Jakarta. Yah, ia bisa macet sedemikian rupa, angkot-angkot bisa berhenti sesukanya tanpa memperdulikan kemacetan yang disebabkannya. Kemacetan yang akan menjadi semakin parah, kalau saja pak polisi tidak ditempatkan di daerah ini. Begitu besar jasa mereka hingga aku merasa sangat kurang ajar dan tak enak hati karena telah lewat dengan sombongnya tanpa memakai helm di depan hidungnya.
Biarlah orang menganggap polisi hanya tukang tilang dan korup, tapi menurutku, pak polisi di daerahku adalah yang terbaik. Karena selain membantu mengatur lalu lintas, ia juga memberikan keamanan pada anak-anak sekolah di tengah keganasan lalu lintas bengkong yang tak ubahnya seperti megapolitan.
Hanya satu yang kusesalkan betapa ternyata bahkan pak polisi itu tak mau menegurku sedikitpun atas kesalahan yang telah kuperbuat. Begitu sabarnyakah ia menjalankan tugasnya? Hingga untuk menegur kesalahan pun ia tak berani. Ah, lagi-lagi aku harus minta maaf yang sebesar-besarnya kalau begitu. Permintaan maaf disertai kekaguman atas kesabaranmu yang luar biasa.
Tapi ternyata penyesalanku ini tak bertahan lama karena begitu melihat running text led di simpang jam maka jelaslah semuanya. Disana tertulis “anda memasuki kawasan tertib lalu lintas”, nah ini berarti bengkong bukanlah kawasan tertib lalu lintas karena tak ada peringatan itu, hingga akhirnya orang bisa bebas berkendara dan pak polisi pun tak punya hak menegurnya. Yah, dan akupun akhirnya melupakan kesalahan yang kukira telah kulakukan pada pak polisi itu.
0 komentar:
Posting Komentar