Akhir – akhir ini rumah saya kedatangan penghuni baru. Penghuni baru yang awalnya tak pernah saya perhatikan sama sekali. Kedatangannya hampir bersamaan dengan kepulangan ayah saya. Kebetulan, ah tak mungkin, katanya tak ada yang namanya kebetulan. Tapi rasanya semenjak renovasi rumah saya selesai penghuni baru tersebut makin banyak saja di rumah saya.
Saya bukan orang yang terlalu menyukai penghuni baru ini, tapi saya pun tidak membencinya. Bagi saya hewan ini hanya simbol kemalasan saja. Setiap hari kerjanya tidur-tiduran, minta dibelai dan mengeong minta makan. Ya, kucing-kucing kampung itu jadi banyak berkumpul di rumah saya belakangan ini, hanya sekedar untuk tidur-tiduran, dibelai atau meminta diberikan makanan sisa.
Dari sekian banyak kucing yang beredar di rumah saya, yang paling setia menunggui adalah kucing belang jingga dengan warna dasar putih ini. Sampai tulisan ini saya ketik kucing itu kami namai maria. Pilihan lainnya saphira ditolak, sedang nama usulan saya yang paling pertama dieliminasi. Padahal saya rasa “si Bodoh” itu nama yang cukup seksi.
Kucing ini sehari-hari kerjanya hanya tidur-tiduran saja. Kalau tak di keset depan rumah maka di ember berisikan karung yang ada di dekat pintu dapur. Tidur seharian, dan hanya bergerak ketika makanan diberikan. Makan, tidur, makan lagi mewah sekali hidup si kucing ini. Rezeki tiap makhluk memang sudah ada yang mengatur, bahkan untuk kucing yang begini pemalas pun ia masih bisa selalu kenyang dan tak terancam kelaparan.
Dari sekian banyak orang di rumah saya, Ayah saya adalah yang paling perhatian untuk urusan memberi makan kucing ini. Mulanya ia hanya mengumpulakan sisa-sisa makanan, kalau ikan maka tulang dan kepalanya adalah bagian untuk kucing ini, begitupun makanan lainnya. tak ada sisa yang tak diperuntukkan bagi kucing satu ini. Lama mendapat sisa, sekarang ini ada yang bertambah bagi menu si kucing ini. Kali ini tak sekedar sisa, ia bertambah menjadi nasi dan lauk sisa, hingga kami menyebutnya “nasi kucing” yang in benar-benar nasi untuk kucing.
Sekarang tiap kami selesai makan maka ada pesan yang selalu diteriakkan “sisanya jangan dibuang ke tempat sampah, kumpulin buat kucing”. Dan begitu sisanya sudah terkumpul maka ayah saya pun segera menyiapkan nasi kucing untuk diberikan ke peliharaan barunya itu.
Kehadiran kucing tersebut di rumah saya itu menyadarkan saya untuk mengagumi ayah saya akan kasih sayangnya. Terlalu jarang bertemu membuat saya seakan terlupa dengan salah satu orang yang paling penting dalam hidup saya ini. Terhadap kucing saja ia bisa begitu perhatiannya, kenapa saya tak pernah sadar akan kasih sayangnya itu selama ini. Kalau hanya cukup lewat kucing kampung ini saya tersadar akan sesuatu yang begini pentingnya pastilah kucing ini lebih mahal dari angora atau jenis kucing mahal lainnya.
Saya bukan orang yang terlalu menyukai penghuni baru ini, tapi saya pun tidak membencinya. Bagi saya hewan ini hanya simbol kemalasan saja. Setiap hari kerjanya tidur-tiduran, minta dibelai dan mengeong minta makan. Ya, kucing-kucing kampung itu jadi banyak berkumpul di rumah saya belakangan ini, hanya sekedar untuk tidur-tiduran, dibelai atau meminta diberikan makanan sisa.
Dari sekian banyak kucing yang beredar di rumah saya, yang paling setia menunggui adalah kucing belang jingga dengan warna dasar putih ini. Sampai tulisan ini saya ketik kucing itu kami namai maria. Pilihan lainnya saphira ditolak, sedang nama usulan saya yang paling pertama dieliminasi. Padahal saya rasa “si Bodoh” itu nama yang cukup seksi.
Kucing ini sehari-hari kerjanya hanya tidur-tiduran saja. Kalau tak di keset depan rumah maka di ember berisikan karung yang ada di dekat pintu dapur. Tidur seharian, dan hanya bergerak ketika makanan diberikan. Makan, tidur, makan lagi mewah sekali hidup si kucing ini. Rezeki tiap makhluk memang sudah ada yang mengatur, bahkan untuk kucing yang begini pemalas pun ia masih bisa selalu kenyang dan tak terancam kelaparan.
Dari sekian banyak orang di rumah saya, Ayah saya adalah yang paling perhatian untuk urusan memberi makan kucing ini. Mulanya ia hanya mengumpulakan sisa-sisa makanan, kalau ikan maka tulang dan kepalanya adalah bagian untuk kucing ini, begitupun makanan lainnya. tak ada sisa yang tak diperuntukkan bagi kucing satu ini. Lama mendapat sisa, sekarang ini ada yang bertambah bagi menu si kucing ini. Kali ini tak sekedar sisa, ia bertambah menjadi nasi dan lauk sisa, hingga kami menyebutnya “nasi kucing” yang in benar-benar nasi untuk kucing.
Sekarang tiap kami selesai makan maka ada pesan yang selalu diteriakkan “sisanya jangan dibuang ke tempat sampah, kumpulin buat kucing”. Dan begitu sisanya sudah terkumpul maka ayah saya pun segera menyiapkan nasi kucing untuk diberikan ke peliharaan barunya itu.
Kehadiran kucing tersebut di rumah saya itu menyadarkan saya untuk mengagumi ayah saya akan kasih sayangnya. Terlalu jarang bertemu membuat saya seakan terlupa dengan salah satu orang yang paling penting dalam hidup saya ini. Terhadap kucing saja ia bisa begitu perhatiannya, kenapa saya tak pernah sadar akan kasih sayangnya itu selama ini. Kalau hanya cukup lewat kucing kampung ini saya tersadar akan sesuatu yang begini pentingnya pastilah kucing ini lebih mahal dari angora atau jenis kucing mahal lainnya.
***
0 komentar:
Posting Komentar