Sabtu, 11 Juli 2009

GURU KEHARMONISAN

Masalah makanan bukan menjadi sesuatu yang penting untuk saya. Asal lapar saya bisa makan apa saja tanpa peduli bagaimana rasanya. Mulai dari masakan jawa, padang, cina dan lainnya saya rasakan semuanya standar saja, walau ada 1 atau 2 yang menempati tempat spesial di hati saya.

Masakan yang paling saya senangi dulu adalah rendang. Masakan khas padang ini, begitu saja membuat saya jatuh hati padanya. Dulu saat Ibu saya memasak masakan ini saya bisa tambah berkali-kali karenanya. Bagi saya ia adalah makanan favorit saya saat itu. Aromanya yang khas, bentuknya yang menggoda dan rasa pedasnya yang luar biasa yang menjadi daya tarik bagi saya.

Tapi saat ini, masakan tersebut adalah masakan yang paling saya hindari. Bukan karena takut kolesterol, jantung atau penyakit-penyakit lainnya, tapi lebih karena keadaan saat ini sudah tak memungkinkan saya untuk dapat menikmati dengan khidmat masakan tersebut. Rusaknya geraham saya membuat memakan masakan tersebut serupa siksa. Mengunyahnya hingga sempurna adalah sesuatu yang hampir mustahil kini saya lakukan. Hingga jika terpaksa bertemu dengan masakan ini saya hanya mengunyahnya dengan sekedarnya untuk kemudian menelannya langsung. Bukan merupakan cara menikmati makanan yang benar tentunya.

Saya menyukai rendang, tapi bukan yang paling. Karena yang paling saya sukai adalah “Mi Ayam”. Makanan ini sejak SMP hingga saat ini merupakan makanan yang paling saya cari dan selalu ingin saya coba, membandingkan rasnya dari penjual yang satu dengan yang lainnya. Kenapa ia menjadi makanan favorit saya, rasanya lebih sebagai pembalasan dendam. Ketika SD dulu saya hampir tak pernah makan makanan ini sekalipun sangat menginginkannya. Jadilah sejak saat itu saya selalu membayangkan kelezatannya saja. Hingga baru ketika SMP saya berkesempatan menuntaskan dendam tersebut, yang akhirnya menjadi sebuah ritual bagi saya hingga saat ini.

Bicara tentang “Mi Ayam” ini dari yang di pinggir jalan hingga dalam mall telah saya coba, dan yang berbeda jauh memang hanya soal harganya. Entah kenapa, makanan ini ketika masuk mall harganya bisa menjadi 2 kali lipat dari harga semestinya. Padahal yang saya temui hampir sama saja, mi, ayamnya, sawi dan kuahnya, itu saja. Simple. Ternyata ada perbedaan kelas, nilai tambah lain ketika ia berada di pinggir jalan dan ketika berada dalam mall.

Tapi dari semuanya, “Mi Ayam” favorit saya adalah “Mi Ayam PodoMoro”. Mi Ayam ini tak berada di mall, ia hanya berada di sebuah kios pada sebuah pasar dekat rumah saya, Pasar Sukaramai. Kiosnya sederhana saja, hanya ada 2 meja panjang disana dengan kursi dan gerobak mi di depannya. Mi ayamnya yang memang sangat dahsyat, mi yang kenyal, ayam yang seluruhnya daging [beberapa penjual mencampurnya dengan tulang], kuah dengan rasa manis pedas yang luar biasa, “Mi Ayam” paling sempurna untuk selera saya.

Di luar soal rasa ada faktor lain yang membuat saya selalu tertarik untuk datang kesana. Pertama, di dalam kios tersebut pasangan suami-istri paruh baya yang menjual “Mi Ayam” ini selalu memutar Langgam Jawi. Musik dan lagu Jawa ini membuat saya merasakan suasana yang berbeda. Suasana yang membuat saya merasa nyaman meski saya tak tahu apa artinya Langgam Jawi tersebut. Hal yang di kemudian hari baru saya ketahui maksudnya, ternyata mereka memutar itu untuk mengobati kerinduan dan menciptakan suasana yang mirip dengan kampung halamannya di Sragen. Kedua, Pasangan suami-istri ini selalu menyambut seluruh tamunya dengan sambutan yang ramah sekelas pelayan di Mall. Tak peduli anak kecil, remaja hingga orang tua, keramahan dan kesopanan adalah harga mati yang harus disertakan dalam pelayanan. Keramahan yang tulus yang tak seperti di mall, keramahan yang penuh tekanan. Sementara sang suami sibuk membuatkan pesanan, maka sang istri mengajak ngobrol ramah sambil membantu suaminya.

Hal ini yang menjadi daya tarik saya kemudian untuk lagi dan lagi datang ke kios “Mi Ayam” ini. Kios “Mi Ayam” yang menjadi guru keramahan, ketulusan, kegigihan serta keharmonisan bagi saya.

***

0 komentar: