Entah kenapa, malam ini saya kepikiran tentang pengaruh anak. Pengaruh dari buku yang saya baca tampaknya. Kecintaan terhadap anak mampu membutakan orang tua akan segalanya. Ada yang rela mempermalukan dirinya asal anaknya selamat, membuka aibnya agar aib sang anak tertutupi dan barisan yang kecewa paling pertama saat anak-anaknya mengalami kegagalan. Sebuah ambisi pribadi yang menjurus pada eksploitir anak menurut saya.
Kepada anak saya nanti, saya ingin mencintainya tanpa emosional sama sekali.
Film KCB diputar perdana kemarin. Imam jadi orang pertama yang begitu menggebu mengajak saya untuk menonton film tersebut. Ada amin, juang, sugi, andres juga ikut bujuknya, tapi setelah saya konfirmasi pada orang yang bersangkutan mereka jawab belum tahu mau ikut atau enggak. Heh, penipu juga ni orang.
Saya memang sama sekali tak berminat menonton film ini. Dari melihat trailernya saja saya tak suka. “Film Indonesia pertama yang syuting di Mesir”. Terus kenapa memangnya? Adakah itu sebuah prestasi? Sama sekali saya tak melihat itu. Saya tak senang dengan itu. Kurangkah tempat indah dan menawan di negeri ini. Ah, itu kan biar sama dengan latar novel best sellernya. Kalau seperti ini saya akan salahkan penulisnya. Tak bisakah ia menulis novel picisan best seller dengan berlatar indonesia saja.
Lagi yang lain yang tak saya senangi adalah efek sehabis nonton film ini. Ada orang yang sangat benci dan rasanya menganggap salah orang yang bergaya kebarat-baratan. Menggunakan pakaian dan bergaul ala kebarat-baratan tak sesuai dengan tradisi ketimuran katanya. Tapi efek menonton film ini saya pikir akan sama dengan efek film AAC sebelumnya. Tiba-tiba saja banyak orang menggunakan bahasa arab dalam pergaulan, cadar, celak dan semua yang berbau kearab-araban. Saya rasa itu bukan sebuah kesadaran akan berislam, tapi sebuah kesadaran tentang adanya sebuah dandanan baru yang menarik.
Kalau kebarat-baratan adalah sebuah kesalahan, maka saya pikir kearab-araban juga sama saja. Saya jadi mempertanyakan, di tengah banyaknya budaya di Indonesia rasanya tak ada sama sekali yang dibanggakan. Saya jadi mempertanyakan keindonesiaan kita.
**Selain kebarat-baratan dan kearab-araban satu lagi yang tak saya senangi adalah kejepang-jepangan [ada beberapa yang bergaya seperti ini]
Kemarin saya berpapasan dengan Windri MS di kampus. Dia menyapa saya dan bertanya tentang masalah sidang kemarin. Saya jawab sudah selesai dan berlalu begitu saja. Malamnya saya beberapa kali sms-an dengannya. Membawa saya teringat pada kejadian beberapa semester yang lalu. Saya lelah sekali malam itu.
Kepada anak saya nanti, saya ingin mencintainya tanpa emosional sama sekali.
---
Film KCB diputar perdana kemarin. Imam jadi orang pertama yang begitu menggebu mengajak saya untuk menonton film tersebut. Ada amin, juang, sugi, andres juga ikut bujuknya, tapi setelah saya konfirmasi pada orang yang bersangkutan mereka jawab belum tahu mau ikut atau enggak. Heh, penipu juga ni orang.
Saya memang sama sekali tak berminat menonton film ini. Dari melihat trailernya saja saya tak suka. “Film Indonesia pertama yang syuting di Mesir”. Terus kenapa memangnya? Adakah itu sebuah prestasi? Sama sekali saya tak melihat itu. Saya tak senang dengan itu. Kurangkah tempat indah dan menawan di negeri ini. Ah, itu kan biar sama dengan latar novel best sellernya. Kalau seperti ini saya akan salahkan penulisnya. Tak bisakah ia menulis novel picisan best seller dengan berlatar indonesia saja.
Lagi yang lain yang tak saya senangi adalah efek sehabis nonton film ini. Ada orang yang sangat benci dan rasanya menganggap salah orang yang bergaya kebarat-baratan. Menggunakan pakaian dan bergaul ala kebarat-baratan tak sesuai dengan tradisi ketimuran katanya. Tapi efek menonton film ini saya pikir akan sama dengan efek film AAC sebelumnya. Tiba-tiba saja banyak orang menggunakan bahasa arab dalam pergaulan, cadar, celak dan semua yang berbau kearab-araban. Saya rasa itu bukan sebuah kesadaran akan berislam, tapi sebuah kesadaran tentang adanya sebuah dandanan baru yang menarik.
Kalau kebarat-baratan adalah sebuah kesalahan, maka saya pikir kearab-araban juga sama saja. Saya jadi mempertanyakan, di tengah banyaknya budaya di Indonesia rasanya tak ada sama sekali yang dibanggakan. Saya jadi mempertanyakan keindonesiaan kita.
**Selain kebarat-baratan dan kearab-araban satu lagi yang tak saya senangi adalah kejepang-jepangan [ada beberapa yang bergaya seperti ini]
---
Kemarin saya berpapasan dengan Windri MS di kampus. Dia menyapa saya dan bertanya tentang masalah sidang kemarin. Saya jawab sudah selesai dan berlalu begitu saja. Malamnya saya beberapa kali sms-an dengannya. Membawa saya teringat pada kejadian beberapa semester yang lalu. Saya lelah sekali malam itu.
***
0 komentar:
Posting Komentar