Minggu, 09 Agustus 2009

OSPEK itu Ujian Komitmen,,

Sudah beberapa hari ini saya selalu ditagih untuk menulis. Salah saya juga sepertinya karena sejatinya saya sendiri yang berjanji. Jadilah saya selalu diteror karenanya, terutama oleh Noe. Anak kecil ini hampir tiap hari bahkan tiap pesan singkatnya selalu menyisipkan pertanyaan yang serupa ancaman bagi saya.

Tema tulisan yang saya janjikan adalah seputar OSPEK. Kegiatan yang merupakan warisan zaman Belanda ini sampai sekarang masih terus menjadi kontroversi, bagi mereka mahasiswa pengusung nilai-nilai kesamaan maka Ospek yang mereka rasakan harus juga dirasakan oleh mahasiswa baru berikutnya. Lain lagi dengan mahasiswa pengusung hak azasi, bagi mereka kegiatan ini sungguh sangat tidak manusiawi.

Bagi saya sendiri, kedua model mahasiswa ini sudah pernah saya jalani. Sebagai pengusung hak Azasi dan pengusung prinsip kesamaan. Tak ada yang salah dan tak pula ada yang benar. Karena kebenaran hakiki hanya ada di langit, di bumi kebenaran itu hanya serupa semburat sinar saja dari langit yang ketika sampai di Bumi semua kadang hanya semu belaka.

Suka atau tidak, Ospek merupakan kegiatan yang harus ada. Karena ia merupakan gerbang awal seorang mahasiswa untuk mengenal dunia kampusnya. Banyak hal menarik, kenangan-kenangan tak terlupakan, teman, sahabat bahkan pacar bisa bermula dari sini. Tapi itu sedikit kesenangan saja, karena kesenangan ini ternyata harus dibayar mahal dengan kegiatan perpeloncoan.

Nah, untuk kegiatan satu ini, saya yakin tak ada orang yang ingin mengalaminya 2 kali. Tapi untuk melakukan kegiatan ini maka banyak orang yang ingin berkali-kali. Lantas apa saja biasanya bentuk perpeloncoan ini? Bentakan, makian, dan hinaan itu biasa. Kalau sedang sial, kekerasan fisik pun bukan tak mungkin menimpa. Perbuatan-perbuatan bodoh yang kadang tak masuk akal pun seringkali diperintahkan agar dilakukan, hanya untuk sekedar lucu-lucuan. Tapi betapapun tak masuk akalnya tetap saja hal itu dilakukan, lebih karena perasaan takut atau rasa menghormati senior saja.

Rasanya pastilah sangat tidak menyenangkan. Tapi watak perpeloncoan memang seperti itu, disukai atau tidak dia tetap harus ada. Anggap saja sebagai latihan, karena hidup memang tak bisa lepas dari yang namanya perpeloncoan. Perpeloncoan bukan sekedar tradisi balas dendam dari senior pada juniornya. Kalau kita pahami maknanya maka perpeloncoan merupakan sebuah ujian bagi sebuah komitmen. Bahwa kehidupan kampus itu keras pastinya. Untuk yang ingin benar-benar menjadi mahasiswa maka pekerjaannya bukan hanya sekedar belajar akademik saja, tapi ada kewajiban untuk riset dan pengabdian pada masyarakat. Karena ketika fokusnya hanya pada akademik dan mengabaikan yang lainnya maka apa bedanya dengan dulu ketika masih jadi pelajar.

Jadi perpeloncoan benar-benar merupakan sebuah ujian komitmen para mahasiswa baru untuk mengarungi kehidupan kemahasiswaannya.

Tentu saja harus ada perbaikan ke depannya agar perpeloncoan lebih rasional, maksudnya sekalipun ingin mengerjai maka harus masuk akal. Tidak boleh membodohi, karena tentu saja hal itu tidak mendidik sama sekali. Kalau ingin lucu-lucuan tapi tak mendidik tonton saja tawa sutra itu. Saya termasuk orang yang paling tak suka dibodohi, apalagi ketika ternyata orang yang membodohi saya itu tak lebih pintar dari saya. Ini yang terjadi ketika saat saya di pelonco dulu, senior yang mengerjai saya itu ternyata mengulang mata kuliah dan belajar bersama di kelas saya. Akhirnya, rasa menghormati senior yang harusnya ada itu hilang begitu saja. “Lha, pantesan aja guyonannya bodo, wong orangnya juga bodo” pikir saya saat itu.

***

0 komentar: