Minggu, 08 Maret 2009

HARGA UNTUK SEBUAH SENYUMAN,,

Senyum itu ibadah, itu katanya. Tapi sekarang ini sepertinya ungkapan ini sudah mulai terdistorsi. Ada jenis senyum terpaksa yang dilakukan sebagai kepantasan karena bayaran atau pekerjaan. Baru-baru ini saya semakin yakin dengan hal ini.

Beberapa hari yang lalu, saya ke sebuah mall di kota ini, dengan niat survei barang, kami masuki dan bertanya satu persatu toko yang ada disana. Ketika pertama kali masuk maka pelayanan dengan senyum saya dapatkan, tapi ketika tahu bahwa saya hanya ingin bertanya harga maka senyum itu makin berat keluar. Ia menanggapi saya sambil lalu saja.

Dan ini makin dikuatkan ketika berada di kasir swalayan di mall itu. Di mesin kasir tertulis “Dapatkan softdrink gratis, kalau karyawan kami tidak melayani dengan senyum dan mengucapkan terima kasih di akhir transaksi” membaca pengumuman ini saya hanya bisa tersenyum sambil garuk-garuk kepala tak gatal.

Dengan perasaan tegang saya menunggu kasir itu lupa mengucapkan terima kasih nanti, tapi harapan itu tak terkabul rupanya. Kasir itu terlalu sigap mengucapkan terima kasih sambil menyunggingkan senyumnya. Ah sial, kasir ini sudah hapal luar kepala tampaknya untuk aturan itu, pastilah ia bukan kasir baru.

Banyak lagi kejadian serupa macam ini terjadi. Di rumah sakit misal, bagi orang kaya, mereka akan mendapatkan pelayanan dengan senyuman kelas satu dari para perawat, dokter sampai resepsionis. Bandingkan kalau pasien miskin yang berobat, dilirik pun mungkin tidak. Baiklah mungkin di awal mereka akan dilayani dengan pelayanan yang sama dengan pasien kaya tadi, tapi ketika saat akan membayar si pasien miskin tadi merengek karena tak punya uang maka yakinlah semua pelayanan itu akana berubah dengan sangat drastis seketika.

Yah, ucapan terima kasih dan senyuman kadang hadir lebih karena tuntutan profesi, aturan perusahaan dan kepantasan. Ia hadir tanpa dilandasi keikhlasan akan arti sebuah senyuman.

0 komentar: