Rabu, 25 Februari 2009

mampir ke KPU,,

hari ini saya baru saja pulang dari KPU..

-test posting- Continue reading...

Minggu, 22 Februari 2009

Teori Psikoanalis,,

“Prestasi manusia terjadi, karena keinginan dipuji lawan jenisnya semata” (Sigmund Freud)

Tak ingin mengakui, tapi sulit untuk diingkari... Continue reading...

Jumat, 20 Februari 2009

Drona dan Saya,,

Makin lama sepertinya makin tak ada yang saya kerjakan disini. Saya sering linglung, berada dalam sebuah komunitas dengan tingkat pergerakan yang sangat cepat membuat saya kadang harus terseok-seok mengejar. Banyak hal berubah disini, dan saya kerap hanya menjadi penonton di pinggir lapangan. Sementara saya sibuk dengan keluh kesah, mengkritisi kesalahan orang lain dan beretorika sebagai pledoi atas kemalasan saya, mereka, adik-adik saya itu telah dengan begitu cepatnya melakukan akselerasi-akselerasi untuk peradaban.

Sementara mereka sibuk berkutat dengan hal-hal besar untuk perbaikan umat, saya disini masih sibuk bertengkar untuk menganggap diri yang paling benar.

Ya, saya seperti Mahaguru Drona yang meminta Bima mencari Tirta Prawidhi. Tak ada bedanya. Sementara Bima berhasil mendapatkan Tirta Prawidhi, arti kehidupan yang sebenarnya, Drona malah terbongkar keburukannya. Drona bahkan belum mendapatkan apa yang dia suruh cari itu. Hanya kebusukan serta kebobrokan yang terlihat kemudian dari Drona. Ketika saya sibuk memberi nasihat dan tugas kepada mereka yang kadang terdengar mustahil, mereka tak peduli, mereka mengerjakan dengan sepenuh hati. Mereka berhasil dan saya selalu masih tertinggal disini.

Saat saya masih selalu dihantui rasa pesimis ketika mengadakan suatu kegiatan, mereka muncul dengan optimismenya yang luar biasa. Hingga kadang malu rasanya.

Lantas, kualitas hidup macam apa pula yang saya miliki kalau seperti ini..?
Continue reading...

Selasa, 17 Februari 2009

SETOKOK MENOHOK,,


Pesan singkat yang sebelumnya saya terima mendorong saya untuk mengikuti kegiatan ke pantai itu. Setokok tepatnya. Bukan untuk menjadi relawan seperti yang lainnya. tapi sebuah bentuk pelepasan ketegangan sehari-hari. Jadilah saya dan teman saya satu lagi kerjanya hanya memprovokasi. Yah, kami hanya sekedar ingin senang-senang disana. Pelajaran teamwork atau memenangkan tiap pertandingan tak menjadi fokus utama –walau akhirnya kami memenangkan semua pertandingan. Yang penting menghibur diri dan bersenang-senang sudah cukup bagi saya, karena memang itu tujuannya.

Keberangkatan diawali dengan segenap keraguan, teman saya hampir tak jadi ikut karena diberi tugas mendadak. Saya tak ingin jadi yang paling tua disana, karena itu saya memaksa dia untuk ikut. Akhirnya dia putuskan untuk ikut juga, baiklah, saya pun segera berangkat menuju tempat kami berkumpul sebelumnya.

Sesampainya disana, saya merasa salah tempat lagi. Semua membawa tas ransel dan perlengkapan lainnya, sementara saya, celana jeans, tas selempang kecil yang isnya hanya buku, pena, dan topi. “mau konser bang?” ledek salah seorang adik kelas saya. Kurang ajar. Saya hanya mengutuki dalam hati, di luar saya harus tetap tenang sambil mengeluarkan berbagai alibi.

Rencana disana, saya hanya ingin duduk-duduk, keliling sambil main air, tak ada sedikitpun keinginan untuk mengikuti kegiatan demi kegiatan yang diselenggarakan. Tapi entah kenapa pada akhirnya, saya mengikuti hampir seluruh kegiatan tersebut. Mulai dari perkenalan, permainan angka, lomba merayap di air, mengisi air dengan spons sampai menara manusia.

Memancing keributan itu yang kerap saya lakukan, hampir tiap kegiatan selalu ada provokasi, hampir setiap kegiatan selalu diakhiri dengan kerusuhan. Lucu, menyenangkan lagi. Yah, yang ingin saya lakukan hanya tertawa, bersenang-senang, dan semuanya tak akan tercipta tanpa kerusuhan. Kerusuhan itu yang menumbuhkan keakraban. Makin brutal makin baik hasilnya.

Lelah, ya setelah mengikuti semua kegiatan itu saya rasakan seluruh badan saya merasa lelah. Capek tertawa sebenarnya. Tak ubahnya orang ketika kesurupan, badan saya merasa lelah tapi saya puas luar biasa. Yah, hati saya senang saat itu, kalau saja tak dirusak dengan agenda terakhir. Agenda utama dari kegiatan ini. Agenda yang mendorong saya untuk memaksakan diri ikut dalam kegiatan ini.

Rapat itu, lagi-lagi tak menyenangkan suasananya. Sejak awal saya sudah merasakan itu. Penting tidaknya sesuatu mungkin memang relatif. Tingkatnya berbeda antara yang satu dengan yang lain, dan apa yang dirapatkan kemarin hampir tak ada satupun yang penting menurut saya. Rasa penasaran saya yang sudah begitu lama tak terobati karenanya, malah ia berganti dengan kekecewaan.

Kekecewaan karena makin lama tingkat pendengaran disini makin parah saja. Tak ada orang yang mau mendengarkan pendapat antara yang satu dengan yang lain. semuanya selalu dihiasi dengan teriakan –walau tertahan tapi tetap saja nadanya mencerminkan. Entah seperti apa mutu musyawarah yang seperti ini, kalau tiap kali selalu saja ada pihak-pihak yang sakit hati.

Makin lama disini, saya makin malas bicara. Bukan tak ingin klarifikasi, tapi karena semua tak ingin mendengar aspirasi. Bagaimana mungkIn mau menerima kalau mendengar pun tak sudi. Akhirnya, paling saya hanya menulis disini. Tulisan yang paling hanya menjadi curahan hati saya selama ini. Mengharapkan tulisan ini dibaca sepenuhnyapun sesuatu yang muluk rasanya. Karena bukan hanya pendengar yang buruk tapi juga karena kita adalah pembaca yang buruk.

Setokok hari itu hanya menambah kelelahan fisik dan hati saya saja.

Continue reading...

Kebiasaan Baru Sore Hari,,

Memasuki libur seperti ini tak banyak aktivitas yang saya lakukan. Hampir sepanjang hari saya habiskan di rumah, hal yang sangat jarang terjadi ketika saat kuliah. Saat kuliah, hampir tak ada waktu rasanya untuk berdiam di rumah. Keberadaan rumah tak ubahnya seperti hotel tempat menumpang tidur saja, tapi yang ini gratis. Seringkali teguran menghampiri tentang itu dari orang rumah. Kadang saya berpikir pilihan menjadi aktivis seringkali membuat saya jauh dari orang terdekat saya termasuk keluarga, saya terlalu sibuk mengurusi hal di luar sana hingga lupa hak-hak orang terdekat dan saya sendiri. Konsekuensi memang, tapi kadang menjurus pada sikap aniaya ke diri sendiri. Ah, apapun itu, saya mencintai kondisi saya sekarang ini. Mungkin hanya butuh sedikit penyesuaian saja agar semua lebih baik.

Menghabiskan waktu di rumah, banyak hal yang saya lakukan dan ini makin mendekatkan saya dengan keluarga. Tiap pagi saya sering mengantar Ibu saya ke pasar, menemaninya, melihat kondisi pasar yang ramai dan menyenangkan. Ada berbagai macam orang disana dengan berbagai macam dagangan.

Kegiatan yang lain adalah mengantar-jemput ayah saya. Yah, sebelum mengantar Ibu saya menjadi tukang ojek bagi ayah saya yang kebetulan kebagian kerja di darat. 2 kali sehari saya harus bolak-balik ke Batu Ampar, melihat perusahaan Shipyard terbesar. Hampir separuh orang Batam bekerja disini, ramai sekali dan besar tentunya. Mc Dermott memang sudah menjadi salah satu ikon perusahaan terbesar di Batam, kedudukannya sama seperti PN Timah dalam laskar pelangi.

Tiap Selasa, Kamis, Sabtu maka ini adalah jadwal untuk mengantar adik les. Masuk sekolah jam 1 tapi harus sudah berangkat jam 9 dari rumah. 3 jam waktu ekstra untuk mendapatkan tambahan pelajaran. Kadang saya berpikir ini bagus atau tidak untuk pertumbuhannya, tak ada waktu bermain sama sekali. Semoga saja baik.

Tapi yang menyenangkan adalah tiap sore tiba. Maka ada ritual khusus baru bagi saya. Ya, tiap sore tiba saya akan duduk di dalam rumah menghadap ke jendela untuk memperhatikan tingkah laku adik saya yang pulang sekolah bersama teman-temannya. Rumah saya memang seperti menjadi tempat transit anak-anak itu sebelum pulang ke rumahnya masing-masing. Hampir tiap hari selalu seperti itu. Melihat mereka seperti mengingatkan saya kembali akan dunia anak yang telah lama saya tinggalkan.

Pertama kali datang yang mereka lakukan adalah duduk berbaris melepas lelah di teras rumah. Sesekali mereka menghiasi dengan tebak-tebakan hingga saling mengejek satu sama lain. Khas anak kecil. Setelah selesai beristirahat biasanya mereka menendang bola di depan rumah. Satu jadi kiper yang lain menendang bergantian. Seringkali tabrakan antar mereka terjadi, jatuh bersama kemudian tertawa bersama pula. Setelah lelah, biasanya mereka duduk kembali, adik saya langsung berlari ke dalam rumah kemudian keluar kembali untuk menjamu teman-temannya dengan air putih dingin. Melihat mereka rebutan, antre menunggu giliran benar-benar membuat saya terbang ke masa lalu saya.

Tak jarang pula percekcokan timbul karena yang satu merasa dicurangi saat bermain. Biasanya mereka meyikapi dengan pulang duluan. Meninggalkan teman-temannya. Hehe, saya persis seperti melihat cermin. Tapi ada yang membedakannya kemudian, keesokan harinya mereka pulang bersama lagi seperti tak ada masalah yang terjadi.

Begitu rendah ternyata kualitas pertemanan saya, bahkan kalah jauh dengan anak-anak itu. Makin dewasa sepertinya orang makin menuju kekanak-kanakan yang sebenarnya. Persoalan kecil menjadi besar, persoalan sepele bisa diselesaikan bertele-tele. Hingga akhirnya para petinggi negeri ini pun saling ejek mengejek tak ubahnya anak kecil, bahkan lebih parah lagi.

Continue reading...

Kamis, 12 Februari 2009

KETIKA SETANpun TERZHALIMI,,

Entah harus senang atau sedih, aku bingung menyikapi hal ini. Tak tahu kenapa aku bisa dilanda dilema seperti ini. Sulit rasanya untuk menentukan bagaimana aku harus bersikap, karena hal ini memang menyenangkan tapi sekaligus mengandung sebuah bahaya. Yah, kesenangan yang berbahaya. Di satu sisi aku senang karena bonus sms 0,1 yang sempat hanya ke sesama operator kini kembali ke seluruh operator, sedang di sisi lain aku bingung karena ternyata aku baru sadar bahwa bonus ini juga menjadi sumber malapetaka buatku.

Yah, bonus sms itulah yang menjadi sumber dilemaku saat ini. Murah memang, cukup sms 10 kali dengan tarif 100 rupiah maka kita akan dapat bonus 100 sms dengan tarif 0,1 rupiah, ini artinya 100 sms hanya bernilai 10 rupiah. Siapa yang tak senang dengan hal ini. Sebuah strategi marketing yang luar biasa. Tak hanya itu, di operator lain bonus ini bisa lebih menggila lagi, hanya 1 rupiah tiap sms atau gratis sepuasnya setelah kirim sejumlah sms. Bahkan lebih jauh lagi gratis nelpon sepuasnya. Janji-janji yang tanpa disadari menjerumuskan konsumen.

Ah, jauh bahasannya kalau mengurusi operator lain. Fokus di bonus sms celaka ini saja dulu. Saat menulis ini bonus sms yang tersisa di handphoneku masih 90 lagi, jumlah yang cukup banyak. Akung sekali kalau ia tak termanfaatkan semua. Sms ini harus diberdayakan, ya, ia tak boleh terbuang sia-sia dan mubazir. Bukankah mubazir perbuatan setan? Kalau kita buat hal mubazir lantas setan buat apa? Bentuk kedzhaliman yang kita lakukan pada makhluk dari dunia lain. Tak lucu rasanya kalau saat di akhirat nanti setan pun turut menuntut kita karena telah mendzhaliminya.

Maka berbekal keyakinan itu, akupun mencari beberapa kata nasihat, dagelan, atau kata bijak yang bisa dikirimkan ke segenap orang yang kukenal. Nah, akhirnya kutemukan ia. Dengan semangat yang masih tetap membara aku mengirimkan kalimat itu pada nomor-nomor yang tercantum di list phone book ku. 1..delivered, 2..delivered, 3..delivered dan seterusnya. Hingga akhirnya bonus sms itu hanya tersisa beberapa puluh lagi, huff, betapa leganya aku saat itu. Setidaknya bonus sms itu tak mubazir.

Namun, tak lama kemudian datang pula sms dengan maksud yang tak cukup jelas. Berisikan ucapan selamat malam, selamat tidur, pantun garing, tebak-tebakan hingga yang terang-terangan numpang buang pulsa. Ini yang menjadi permasalahannya karena akhirnya sisa sms bonus tadipun kupakai untuk membalas sms-sms ini. Bahkan tak jarang terlarut dalam sms-sms tak mutu hingga melebihi bonus yang tersedia. Apa namanya kalau bukan sebuah kemubaziran.

Yah, semangat untuk menghindari tindakan mubazir ternyata hanya menjerumuskanku pada tindakan mubazir lainnya. Bahkan tak hanya itu, kadang kala pemanfaatan sms itu hanya untuk sekedar kamuflase untuk menanyakan kabar, mengucapkan selamat malam dan tindakan lainnya. Hingga tak hanya mubazir, sms itu bahkan Seringkali menjurus ke dalam sebuah kemaksiatan. Betapa ternyata seringkali aku melakukan tindakan mubazir dalam upaya untuk meghindari kemubaziran. Betapa ternyata seringkali kejahatan muncul dari niat-niat baik.

Continue reading...

Maafin aku Pak..

Hari ini aku harus minta maaf pada pak polisi di persimpangan jalan itu. 2 kali aku harus lewat di depannya tanpa memakai helm, mengantar kakak kerja dan menemani ibu ke pasar, yang tentu saja melanggar peraturan dan membahayakan keselamatan. Sebuah tindakan yang tentu saja mencoreng dan seperti menghina pak polisi tersebut sebagai pengawas dan penertib lalu lintas. Sungguh, aku tak ada maksud sama sekali untuk berbuat seperti itu. Mana mungkin aku berani melakukan itu, sebuah tindakan kekurangajaran pada seorang abdi masyarakat yang sudah dengan dedikasi tinggi mengatur padatnya lalu lintas bengkong di pagi hari.

Kalau aku perhatikan, kesadaran berlalu lintas di daerahku -bengkong- sangatlah rendah. Banyak yang tak mengindahkan keselamatan berlalu lintas mulai dari perlengkapan berkendara hingga kendaraannya. Begitu banyak kendaraan yang harusnya sudah masuk museum tapi masih beroperasi bahkan ditambahi gerobak di sampingnya. Untuk kelengkapan berkendara sendiri, ia masih sering ditinggalkan, helm sering tak dipakai hanya karena alasan “deket, cuman ke pasar aja kok”, ya kalau memang dekat kenapa tak jalan kaki saja? Sehat, mengurangi global warming pula.

Dengan mayoritas penduduk bengkong sebagai pekerja, maka jalanan bengkong menjadi tak ubahnya seperti Jakarta. Yah, ia bisa macet sedemikian rupa, angkot-angkot bisa berhenti sesukanya tanpa memperdulikan kemacetan yang disebabkannya. Kemacetan yang akan menjadi semakin parah, kalau saja pak polisi tidak ditempatkan di daerah ini. Begitu besar jasa mereka hingga aku merasa sangat kurang ajar dan tak enak hati karena telah lewat dengan sombongnya tanpa memakai helm di depan hidungnya.

Biarlah orang menganggap polisi hanya tukang tilang dan korup, tapi menurutku, pak polisi di daerahku adalah yang terbaik. Karena selain membantu mengatur lalu lintas, ia juga memberikan keamanan pada anak-anak sekolah di tengah keganasan lalu lintas bengkong yang tak ubahnya seperti megapolitan.

Hanya satu yang kusesalkan betapa ternyata bahkan pak polisi itu tak mau menegurku sedikitpun atas kesalahan yang telah kuperbuat. Begitu sabarnyakah ia menjalankan tugasnya? Hingga untuk menegur kesalahan pun ia tak berani. Ah, lagi-lagi aku harus minta maaf yang sebesar-besarnya kalau begitu. Permintaan maaf disertai kekaguman atas kesabaranmu yang luar biasa.

Tapi ternyata penyesalanku ini tak bertahan lama karena begitu melihat running text led di simpang jam maka jelaslah semuanya. Disana tertulis “anda memasuki kawasan tertib lalu lintas”, nah ini berarti bengkong bukanlah kawasan tertib lalu lintas karena tak ada peringatan itu, hingga akhirnya orang bisa bebas berkendara dan pak polisi pun tak punya hak menegurnya. Yah, dan akupun akhirnya melupakan kesalahan yang kukira telah kulakukan pada pak polisi itu.

Continue reading...

Ada Apa dengan Laba-laba?

Sejak pertama kali mengenal spiderman, aku langsung menyukainya. Menurutku ia berbeda dengan pahlawan super rekayasa dari Amerika yang lain. Pertama, peter parker yang jadi spiderman adalah makhluk bumi asli. Kedua, ia bukan berasal dari kalangan kaya yang untuk menjadi pahlawan super harus menggunakan teknologi canggih yang mahal biayanya. Ketiga, urusan cintanya pun kacau, mary jane mencintai spiderman bukan peter. Keempat, dia pahlawan yang tak diakui, kelima dia seorang jurnalis. Dan terakhir karena dia digigir seekor laba-laba.

Kecintaanku pada spiderman bukan berarti aku tak mencintai produk lokal. Jagoanku yang terbaik tetap arjuna. Tokoh pewayangan dalam epos mahabarata yang sakti mandraguna walaupun pada dasarnya arjuna adalah anak yang berfisik kecil, kurus, baik hati dan selalu memilih untuk mengalah.

Yang menarik perhatianku pada spiderman adalah karena seekor laba-laba, betapa ternyata makhluk yang kerap kali dianggap mengotori rumah dapat menjadi imajinasi yang bernilai miliaran rupiah. Bukan itu saja, binatang ini juga yang menolong Rasulullah saat dikejar-kejar musuh di gua tsur. Tapi lebih dari itu ada prinsip hidup yang menarik dari seekor laba-laba.

Laba-laba adalah binatang dengan kreatifitas dan tingkat seni yang sangat tinggi, perhatikan saja rumah yang dibuatnya. Indah kan, dengan sulur dari perutnya ia menciptakan sebuah rumah yang penuh dengan nilai seni yang tinggi. Sederhana tapi elegan. Rumah yang tak hanya menjadi tempat tinggal tapi juga sebagai kantor tempat mencari makan. Ya, laba-laba menjadikan rumahnya sebagai tempat tinggal sekaligus tempat ia mendapatkan makanan. Nyamuk-nyamuk yang tersangkut disitu menjadi sumber penghidupan baginya. Tak perlulah ia pergi mengembara jauh atau bekerja untuk binatang lainnya untuk mendapatkan makanannya.

Sebuah keadaan yang membuatku harus berfikir bahwa ternyata kualitasku saat ini masih kalah dengan seekor laba-laba. Aku dan calon lulusan lainnya yang hanya berebut mencari kerja tanpa pernah berfikir untuk meciptakan lapangan pekerjaan bahkan dari rumah sendiri untuk dapat menghidupi diri. Yah, sepertinya aku memang harus belajar banyak tentang kreatifitas dan seni dari laba-laba itu.

Continue reading...

Rabu, 11 Februari 2009

PESAN SINGKAT dari RUMAH SAKIT JIWA,,

Siang ini aku mendapatkan sebuah pesan singkat dari seorang teman yang sekarang sedang berada di rumah sakit jiwa di Pekanbaru. Dalam rangka magang atau plesiran kurang tahu juga tapi yang pasti menyenangkan sepertinya berada disana. Sebuah tebakan sepihak. Tapi bukan masalah keberadaan dia disana yang akan jadi bahasan tulisan ini. Kembali ke akar permasalahannya, isi pesan singkat yang dikirimkan padaku –dan teman yang lain mungkin.

Begini kira-kira isi smsnya, aku kutipkan secara bebas untuk anda pembaca dan pengunjung blog yang terhormat ;

“Da lelucon dari yusuf kalla di tribun riau.
Belliau mengatakan “pendi2kn di tanh air qt luar biasa.buktina obama.
Dy lu2san SD Indonesia bs jd presidaen AS. Tu baru SD.
Coba mpe skrg lu2san univ.
Di AS gk da kan yg prnh jd presiden RI?
(beri tanggapan)”

Isi sms yang sempat membuatku tersenyum antara geli dan getir. Betapa ternyata untuk menjadi seorang presiden di negeri adidaya hanya perlu sekolah sampai SD di negeri sekelas indonesia. Hal yang sangat menggelikan sekaligus menyedihkan karena ternyata pendidikan yang benar dan berkualitas di negeri ini hanya terjadi di sekolah dasar –ini dulu mungkin, sekarang semua sama. Selebihnya setelah itu, sekolah hanya tempat indoktrinasi, menyeragamkan pola pikir, membelenggu kreativitas, tempat mengajarkan kekejaman, pewarisan dendam dan sarana mencari gelar untuk menjadi pesuruh di negerinya sendiri.

Pantas saja banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Dulu aku selalu berpikir, kalau mereka yang menyekolahkan anaknya di luar negeri adalah orang sombong yang tak cinta tanah air. Namun belakangan, paradigma ini sedikit berubah, bukan karena sombong atau ingin bergaya namun lebih pada ketidakpercayaan pada mutu dan kualitas pendidikan di negeri ini. Ada masalah yang lebih kompleks di balik itu semua, bukan sekedar tak adanya rasa patriotisme dalam diri.

Pendidikan di negeri ini tak hanya dikhianati rakyatnya sendiri, jauh sebelum itu para elit telah melakukannya terlebih dahulu. Memotong anggaran pendidikan, korupsi dan lainnya membuktikan betapa tak pedulinya mereka terhadap kualitas pendidikan di negeri ini. Ketidakpedulian yang terjadi entah secara sengaja atau tidak.

Hal menggelikan lainnya adalah ternyata begitu mudahnya hal-hal remeh menjadi sesuatu yang besar di negeri ini. Amerika yang dapat presiden baru, Indonesia yang kegirangan dan bangga, sebuah kebanggaan sepihak hanya karena presiden terpilih pernah bersekolah di indonesia. Padahal menguntungkan atau berpihak pada Indonesia pun belum tentu dia lakukan. Ah, yang penting dia pernah tinggal di Indonesia, tercantum di curriculum vitaenya nama negara kita tercinta, cukuplah itu menjadi sebuah kebanggaan, added value katanya.

Yah, Obama hanya cukup beruntung SD di Indonesia kemudian segera pindah. Kalau dia nekat meneruskan sampai kuliah disini, mungkin nasibnya tak akan berbeda dengan lulusan perguruan tinggi lainnya di negeri ini. Jadi pengangguran. Yah, lulusan perguruan tinggi dan pemuda di negeri ini lebih berpengalaman menjadi pengangguran ketimbang memiliki pengalaman kerja.

Dan Akhirnya, tak perlu jadi seorang penguasa untuk dapat menguasai sesuatu. Cukuplah jadi pedagang. Amerika sudah membuktikannya. Tak ada seorangpun Amerika yang jadi presiden di negeri ini, tapi mereka bisa menguasai presiden Indonesia. Lihat saja exxon, freeport dan perusahaan Amerika lainnya, apa yang sudah mereka lakukan? menjarah kekayaan Indonesia, menyengsarakan rakyat tapi apa yang dilakukan presiden Indonesia? Diam saja. Yah, karena dia sudah dikuasai mereka.
Continue reading...

Selasa, 10 Februari 2009

Untitled

tulisan tanpa judul ini (ada sih, untitled itu apa kalo bukan judul) dibuat sekedar untuk memenuhi komitmen untuk terus update blog tiap hari. tak ada yang mau dibahas dalam tulisan ini karena aku tak punya ide sama sekali. tulisan ini hanya sekedar upaya untuk membiasakan diri menulis.

Lama tak buka blog ini -udah 2 ato 3 hari gak dibuka- ternyata dapat komen di shoutmix. hehe, ada yang marah rupanya. tak apalah marah kan juga manusiawi, justru aku senang karena ternyata dia bisa marah juga. sekalipun hanya lewat tulisan tapi cukup membuktikan bahwa ternyata dia juga sama seperti aku dan yang lain.

yah, maaf kalau itu membuat marah..
***

Februari 2009 sepertinya bulan perpisahan. banyak orang yang kukenal pindah di bulan ini. tak harus disesali apalagi ditahan agar tak pergi. cuma sementara kan? nanti juga kembali. Inget lagunya PASTO aja aku pasti kembali.

Dari sini aku hanya bisa mengucapkan selamat jalan...

Makasih buat semua..

Continue reading...

Kamis, 05 Februari 2009

Suara (Kuberharap)

Disini aku masih sendiri
Merenungi hari – hari sepi
Aku tanpaMu
Meski tanpaMu

Bila esok hari datang lagi
Mencoba tuk hadapi semua ini
Meski tanpaMu
Meski tanpaMu

Bila aku dapat bintang yang berpijar
Mentari yang tenang bersama ku disini
Kudapat tertawa, menangis, merenung
Di tempat ini aku bertahan

Suara dengarkanlah aku
Apa kabarNya pujaan hatiku
Aku disini menungguNya
Masih berharap di dalam hatiNya

Suara dengarkanlah aku
Apakah aku selalu di hatiNya
Aku disini menungguNya
Masih berharap di dalam HatiNya

Dan aku masih tetap disini
Melewati semua yang terjadi
Aku menunggu
Aku menunggu..

(Hijau Daun)

Continue reading...

Selasa, 03 Februari 2009

Nostalgia ,,


Sudah lama aku tak lagi berkunjung ke SMK, sekolahku dulu. Ini kali ketiga aku kesana untuk mengurusi hal yang sama, menggerakkan pelajar. Berawak dari nonton bareng palestina, aku kenal dengan beberapa orang pelajar SMU ataupun SMK yang diundang saat itu. Tanggapan mereka setelah acara itu tentu saja seperti yang diharapkan, beberapa atau seluruhnya tergerak untuk peduli dengan masalah Palestina.

Beberapa hari setelah acara itu, aku dapat telpon dari pelajar kenalanku itu bahwa mereka akan mengadakan acara serupa di sekolahnya. Meminta film-film yang ditonton kemarin dan panduan aku menyanggupi permintaan mereka.

Berdua dengan temanku, aku pergi kesana. Memberikan pandangan dan menambah kenalan. Banyak yang berubah dengan sekolahku ini dulu. Sekarang ia terasa lebih menyenangkan, lebih santun. Tak lagi seperti dulu, saat dimana pendekatan yang dilakukan guru ke murid lebih menggunakan pendekatan teror. Tak heran kalau muridnya pun beringas karena guru sebagai pendidik mencontohkan seperti itu.

Senang rasanya bisa kembali melihat sekolahku dengan berbagai perubahannya. Sekolahku yang tak banyak membawa kenangan indah buatku dulu. Bertemu lagi dengan mereka mengingatkanku akan aku ketika pertama kali, semangat. Sesuatu yang hilang rasanya sekarang ini.

Berkumpul dengan mereka membuatku merasa seolah lebih muda. Wah, apa hubungannya? Ada jelas, kalau berteman dengan penjual minyak wangi maka bisa tertular wanginya maka setidaknya ketika berkumpul dengan mereka akan tertular mudanya, hehe. Yah setidaknya tertular semangat mereka.

Semangat orang-orang luar biasa dengan potensi luar biasa.
Continue reading...

Senin, 02 Februari 2009

Tuk Para Pengusung Peradaban,,

Dariku tuk sang pemimpin masa depan,,

Suatu hari kau akan terbangun
Dan tersadar bahwa kau bukanlah yang dulu
Orang biasa yang tak dikenal
Yang bahkan dilupakan
Karena tak berarti bagi mereka,,

Kaulah sang pengusung peradaban bagi generasi baru
Yang membuat bangsa ini kembali ke cita-cita awalnya
Yang membuat anak bangga memanggilnya ayah atau bunda
Yang membuat sang suami bangga karena kecerdasan istrinya
Yang membuat istri bangga akan nama belakang yang ia sandang
Dan orang tua yang takkan pernah menyesal
telah melahirkan seorang anak yang bijak
Putra-putri matahari yang selalu siap menyinari
Memberikan sinarnya tuk semua relung jiwa yang gelap
Memberikan hangatnya tuk relung jiwa yang kedinginan
Sosok pemimpin besar yang ada padamu, padanya dan setiap orang
Seorang pemimpin yang akan selalu mengambil keputusan yang bijak
Untuk semuanya, melepaskan apa yang diinginkannya
Karena ia tahu kebahagiaannya adalah tawa setiap jelata

Dariku untuk sang pemimpin masa depan,,


(2 Februari 2009, 00:02:48, dari dia, disadur dengan perubahan seperlunya)

Continue reading...

HARUSKAH DISESALI..

Bagi mereka yang takut gelap,
Haruskah menyesali malam
yang datang dengan kodratnya..

Bagi pecinta mawar,
Haruskah menyesali duri
Yang dapat melukai

Mereka yang memuja api
Tetap percaya padanya
Sekalipun ia dapat membakar diri

Begitupun yang ingin sendiri,
Mungkin itu pilihan hatinya
Sekalipun bagi kebanyakan orang
tak menyenangkan hidup sendiri.

Lantas, Apa yang seharusnya disesali

Ketika segala sesuatu
Punya resikonya sendiri-sendiri

Tak usahlah, bersedih terlalu larut
Tak usahlah terlalu mengutuki
menyalahkan diri sendiri
Apalagi menghakimi orang lain

Urusi saja urusan sendiri.. Continue reading...

MARI MENJADI ANEH..!!

Bila ingin berkembang jangan takut dianggap konyol dan bodoh
-Phititis, filosof-

Ada beberapa pandangan yang sepertinya harus kurubah. Selama ini aku selalu merasa risih dengan orang-orang yang bersikap, bertindak dan berpemikiran aneh. Keanehan mereka bagiku merupakan sebuah bentuk pertunjukan kebodohan serta kekonyolan di depan publik. Kebodohan serta kekonyolan yang menurutku adalah aib yang harusnya disimpan dalam diri, jangan sampai diketahui.

Namun sepertinya pandanganku selama ini salah. Keanehan yang dipertontonkan lebih merupakan bentuk penunjukkan eksistensi. Salah satu cara agar orang menyadari keberadaannya, mengenali dirinya. Semula aku maish belum percaya, sampai aku membaca kalimat ini dan jelaslah semuanya.

Membatasi diri, menjaga reputasi memang penting. Tapi tak berarti harus terus-terusan memakai topeng agar terlihat seperti manusia sempurna. Di tempat-tempat tertentu mungkin perlu, tapi diperlukan juga keanehan sebagai wujud dari ekspresi diri yang perlu dilepaskan sesekali.

Hidup memang harus seimbang, keseriusan harus pula disertai dengan kekonyolan. Maka keanehan harus pula diadakan dalam diri setiap pribadi. Tentu saja harus ada batasan-batasan syar’i untuk itu. Jangan sampai keanehan kita yang terlalu kebablasan malah membuat orang merendahkan kita.

Yah, bila ingin maju dan berkembang maka jangan pernah takut untuk dianggap aneh oleh orang-orang di sekitar. Karena banyak penemuan besar yang juga menjadi bahan ejekan serta cemoohan dulunya. Lantas salahkah orang yang mengolok tersebut. Tentu tidak. Mereka benar, yang anehpun benar. Mereka yang mengolok adalah pihak yang benar karena memang pikirannya membenarkan itu, bahwa mengolok impian yang terefleksi dalam keanehan adalah benar. Akal mereka terlalu sehat, sehingga semua yang tak masuk akal adalah kebodohan. Mereka menafikan hadirnya keajaiban dari yang tak terbatas. Sementara si Aneh, dia pun benar. Akalnya yang tak sepenuhnya sehat membuat impian jauh dari hitung-hitungan logika semata yang kadang membawanya pada peluang keberhasilan yang tak dilihat orang yang terlalu sehat akalnya.

Jadi, kalau ingin sukses menjadi aneh kurasa tak ada salahnya...

Continue reading...